Kamis, 08 Oktober 2009

Foto Panggung Pensi SMA 9 Yogyakarta

Ini adalah dokumentasi panggungku kemarin di Pensi SMA 9 Yogyakarta. Beruntung bisa masuk backstage karena ikut menjadi Crew dari "Suddenly Sunday". Terima kasih deh buat anak - anak Suddenly Sunday,semoga besok - besok bisa bawa aku lagi......
Ini sedikit fotoku yang ku ambil memakai black n white, berhubung masih belajar motret BW.

so,check this out.........


-sang_amatir-

Suddenly Sunday (Jogja)

 
 

Jenny (jogja)


 
 

Superman is Dead


 
 
 
 
 
 
 
 

Sabtu, 03 Oktober 2009

Java Rock'in land (Pre Event)

Sebuah Pre Event untuk menyambut event Rock besar di Jakarta bejudul "Java Rock'in Land" diadakan di Taman Abubakar Ali, Yogyakarta. walau hanya bertema pre event, namun Gudang Garam selaku penyelenggara melakukannya dengan maksimal. hal ini terlihat dari konten acara tersebut, mulai dari stage, sound, lighting sampai keamanan yang ekstra ketat. Band yang maen untuk sebuah acara pre event ini juga cukup banyak menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta, terlihat dari antusias masyarakat untuk menyaksikan acara ini. efeknya, Taman Abubakar Ali yang biasanya disesaki oleh kendaraan roda empat yang parkir, malam itu disesaki oleh ribuan jiwa yang haus akan event besar seperti ini. ada tiga band besar yang tampil dalam acara ini, yaitu Netral sebagai pembuka acara, The Brandals dan untuk penghujung acara disuguhkan Netral. Ketiga band tersebut juga nantinya akan tampil dalam Java Rock'in Land di Jakarta.
Berikut dokumentasi oleh sang_amatir....


-semoga berkenan-

Seringai

 
 

The brandals

 
 
 
 

Netral


 
 
 

Jumat, 02 Oktober 2009

Grebeg Maulud

Grebeg maulud adalah salah satu acara tahunan yang diadakan oleh Kraton Yogyakarta guna menyambut Maulud Nabi. acara ini dilakukan selama sebulan dengan acara sekatenan yang bertempat di alun - alun utara Kraton Yogyakarta, disana terdapat berbagai macam makanan pasar, permainan anak - anak, jual baju - baju bekas, dan pertunjukan - pertunjukan seperti wayang, tari dan musik. Acara ini dipuncaki dengan acara Gunungan, yaitu Kraton membuat Gunungan yang berisi makanan - makanan pasar yang nantinya disebar di msjid agung Yogyakarta, dan dibuat rebutan oleh masyarakat sekitar.
Saya sempat mengabadikan beberapa momen mejelang rebutan Gunungan di dalam Kraton.
Semoga berkenan.....


-salam dari amatir-







Band Indie VS Band Swadaya

Dari pluralitas musik yang ada di dunia ini, ada 2 macam bagian musik yang harus kita perhatikan. Judul di atas mungkin memang terdengar biasa saja di telinga, namun memang hal seperti itu yang sedang terjadi sekarang ini, dan sebenarnya hal itu bukan hal yang biasa di dalam ranah budaya perlawanan atau counter culture yang semestinya semangat ini dimiliki oleh youth culture. Msalah yang sedang terjadi itu adalah band indie yang sedang bertarung dengan band swadaya, yakni pihak yang telah mencoret attitude cutting edge dari band indie. Parahnya lagi bahwa pada realitasnya band swadayalah yang mampu diterima dalam masyarakat, dan bisa dikatakan berhasil menundukkan band indie. Hal ini diakibatkan karena memang orang – orang banyak yang tidak mengerti apa itu band independent yang sebenarnya. Sehingga banyak band sekarang ini yang mengaku indie, padahal mereka cenderung ke band swadaya.
Sebenarnya apa sih yang disebut band indie yang sebenarnya? Band yang benar – benar bisa disebut indie sebenarnya bukan hanya band yang mengerjakan semua recording dan lainnya dengan biaya sendiri atau praktek Do It Yourself, itu adalah arti yang sempit sekali dan arti yang notabene sudah salah kaprah di masyarakat. Namun indie di sini adalah mereka yang mempunyai semangat counter culture. Di mana mereka mampu melakukan perlawanan terhadap apa yang biasa disebut mainstream. Hal ini tidak jauh dari ideologi mereka sebagai band yang cutting edge. Cutting edge di sini diartikan sebagai pendobrak, dan apa yang harus didobrak? Ya itu tadi, budaya mainstream yang menjamur di masyarakat. Senjata yang digunakan tentu saja saja secara musikalitas, yaitu mereka harus mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam musik, sehingga mereka dapat juga melakukan sebuah terobosan baru dalam musik di pasar. Musik yang dimainkan oleh band – band cutting edge biasanya musik yang mempunyai roots yang jelas. Dengan roots tersebut mereka mampu mempunyai ciri khas dalam bermusik, dan tidak cenderung mengikuti pasar yang nantinya akan menjadi mainstream.
Dan apa sih yang disebut dengan band swadaya? Band swadaya memang bisa disebut sebagai band indie, namun dalam arti yang sempit sekali. Mereka adalah band yang mampu membiayai semua kehidupan bandnya secara mandiri tanpa bantuan pihak mayor label, mulai dari recording, lay-out, artwork, pengepakan, dll. Mereka juga adalah band yang bermusik tanpa memandang semangat cutting edge, sehingga mereka tidak bisa dibedakan dengan musik mainstream. Band swadaya masih cenderung mengikuti kemauan pasar, tanpa mampu mendobrak dan melakukan terobosan. Ideologi dasar yang diambil sebarnya adalah mereka memang membiayai semuanya secara mandiri tapi intinya mereka sebenarnya menunggu sampai ada pihak mayor label yang mau mengontrak mereka, jika tidak pernah ada label yang tertarik dengan musik mereka, maka band tersebut lama – lama akan musnah dengan sendirinya. Mereka juga tidak mempunyai roots dalam bermusik sehingga cenderung tidak mempunyai ciri khas. Band swadaya juga sering disebut band yang mengusung tradisi Do It Yourself. Jika band swadaya yang diinterpretasikan sebagai band indie, maka semua orang juga bisa membuat dan bisa dibilang indie, asalkan mereka mampu merilis musik sendiri dan mempunyai uang untuk produksi album mereka sendiri juga. Dan itu lah interpretasi yang salah dari indie.
Sebenarnya budaya salah kaprah yang terjadi dalam masyarakat juga didukung oleh EO – EO dan media mainstream yang tidak mengerti apa itu yang disebut dengan indie yang sebnarnya. Mereka hanya mengekspos musik – musik swadaya yang memang notabene dapat diterima di masyarakat, tapi mereka melupakan semangat cutting edge pada band indie yang sebenarnya. Media – media mainstream tadi sekaligus telah merusak roots indie yang telah dibangun oleh band – band indie yang asli. Sungguh ironis memang mendengar hal semacam ini. Band – band cutting edge yang seharusnya lebih bermutu dari band mainstream malah mereka lupakan dan justru tertelan oleh budaya mainstream. Mungkin karena memang EO hanya berorientasi pada uang saja, oleh sebab itu mereka lebih condong ke musik mainstream. Selain media mainstream tadi, youth culture kita yang memang cenderung apatis terhadap musik juga yang mengakibatkan kesalah kaprahan yang terjadi dalam budaya youth culture itu sendiri. Juga karena memang youth culture sekarang ini sudah menjurus ke mainstream.
Band indie sendiri pada awal sejarahnya dimulai oleh para pemusik dari genre british pop atau yang lebih popular disebut dengan BritPop di UK. Label – label indie untuk genre BritPop yang pertama kali banyak bermunculan di UK. Karena memang budaya BritPop dulu adalah juga kebanyakan dari kaum Hippies, kaum yang didedengkoti oleh John Lennon guna memprotes adanya perang dan kekerasan yang terjadi pada waktu itu di UK. Kita juga bias sebut Morrisey sebagai dedengkot indie di dunia. Namun lewat perkembangan jaman yang semakin maju, indie juga semakin luas, tidak hanya musik – musik BritPop, namun juga ada dari musik Punk, Hardcore, metal, dll. Lewat perkembangannya pula banyak bermunculan label – label indie untuk genre musiknya masing – masing. Di Indonesia sendiri pada kenyataanya ternyata banyak band indie yang lebih sukses dari pada band – band dari mayor label. Banyak band indie yang telah merilis albumnya sampai ke luar negri, dan parahnya musik mereka lebih diterima di negri orang ketimbang di negri sendiri. Ini lah sebabnya mereka lebih senang main di luar daripada di negri sendiri. Sebut saja The S.I.G.I.T yang pernah berargumen di salah satu majalah musik terkemuka dengan mengatakan “Main di Indonesia lebih susah daripada main di negri orang.”
Sedangkan band swadaya tidak memiliki sejarah dan roots yang jelas adanya, mereka hanya mencuri konsep Do It Yourself yang dimiliki oleh band indie. Memang band swadaya kini lebih popular disebut dengan band DIY (Do It Yourself). Selebihnya mereka cenderung meniru musik – musik mainstream yang laris – manis di pasaran. Di mana mereka nantinya hanya akan menjadi penerus band – band semacam D’Masive, Kotak, dan band sejenis lainnya yang popular setelah mengikuti ajang persaingan berlabel indie. Yakni mereka yang dengan gampangnya menjual ideologi musik mereka ke tangan mayor hanya karena kormesialisasi semata. Mungkin memang aneh attitude yang dimiliki oleh mayarakat Indonesia, mayarakat yang terlalu bersikap mainstream terhadap musik.
Oleh sebab itu pula musik juga perlu adanya pembeda – bedaan yang jelas. Hal ini diperuntukkan supaya tidak terjadi lagi kesalah kaprahan di masyarakat. Pembedaan ini juga dikususkan supaya ada sebuah media counter culture untuk semacam pedokumentasian dari band – band cutting edge, mengingat pluralitas musik tadi. Juga sebagai penyadar untuk media, EO dan masyarakat bahwa pemahaman indie bukan sekedar diartikan “bukan mayor” semata. Tapi harus lebih dari itu juga harus dimengerti pula mengenai roots character dan attitude cutting edge serta praktek Do It Yourself yang seharusnya band indie memiliki ketiga hal tersebut. Dan sebenarnya diantara keduanya yakni band indie dan band swadaya tidak ada yang baik dan yang buruk, hanya saja perlu adanya pembedaan tadi. Yang memang sebenarnya kedua hal itu sangat berbeda. YHN

Wabah “Dressed to Kill”

Mungkin kita masih ingat waktu genre emo sedang booming dimana - mana dulu, semua seperti berseragam dalam berbusana, dengan rambut “ramires”, skinny jeans, kaos milik adik masing - masing dengan desain – desain yang lucu bahkan kaos berwarna pink laris – manis waktu itu dan tidak ketinggalan adalah sepatu Vans slip-on. Namun anehnya, mereka banyak yang tidak tahu apa itu emo, darimana roots itu terbentuk atau whatever lah. Mungkin itu salah satu contoh diantara banyak kasus yang ada selama ini, dan mungkin karena kasus itu yang paling booming ketika itu. Namun fenomena semacam ini tidak hanya berhenti sampai disitu, masih terus ada hingga saat ini, dan mungkin akan terus ada. Hal semacam ini disertai juga dengan pergantian genre musik yang juga terus berganti.
Entah apa kata yang tepat untuk digunakan dalam membicarakan fenomena yang terjadi pada anak muda sekarang ini, khususnya di sini dalam hal berbusana, bukan dalam hal yang lain. Walau kita juga tidak bisa memungkiri bahwa fashion sangat identik dengan genre musik, padahal musik itu luas sekali, tidak hanya sekedar fashion semata. Mungkin kita juga sudah familiar dengan istilah Fashioncore. Ya….istilah ini digunakkan untuk para anak muda yang “mendadak metal” atau “mendadak dangdut” sekalipun. “Mendadak” disini berarti bahwa mereka hanya menggunakkan fashion untuk musik tertentu dan dalam waktu tertentu saja, namun mereka tidak tahu apa - apa mengenai genre musik tersebut, bisa dibilang sebagai gaya - gayaan semata, untuk jaga gengsi juga tentunya. Samapai saya pernah mendengar ada suatu komunitas bernama “I hate who wears a shirt’s band without they know the band.” Memang panjang, tapi arti nama komunitas tersebut sangat menarik dan berarti.
Fashioncore sendiri sering digunakan sebagai bahan ejekan untuk orang - orang yang serba mendadak tadi. Namun para penikmat fashioncore tersebut merasa tenang - tenang saja dengan ejekan seperti itu bahkan justru menikmati ejekan tersebut, atau banyak juga yang merasa bangga jika dibilang posser. Entah apa yang sudah meracuni otak anak muda semacam itu. Konsumerisme telah merajai mereka.
Memang konsumerisme sudah tidak jauh berada dari kehidupan youth culture kita sekarang ini. Budaya yang seharusnya sangat dikawatirkan untuk menjadikan youth culture kita semakin menjadi kaum hedonis semata, sangat memprihatinkan bukan kehedonisan melanda youth culture? Mungkin dengan argumen untuk mengikuti jaman melalui fashion adalah argumen yang paling tepat, karena seperti kita ketahui berkembangnya fashion saat ini yang semakin gila. Maksudnya adalah membuat pikiran anak muda dan kantong kita gila, ya….sangat mahal tentunya untuk mengikuti fashion yang ada. Lihat saja pada suatu gigs sekarang, bukan crowd yang menarik yang ditunjukkan justru fashion show yang terjadi di sana, siapa lagi pelakunya jika bukan para posser-posser itu. Banyak yang mendadak metal, mendadak hardcore, dan sebagainya, hingga konsistensi diri dipertanyakan.
Para posser seperti mendewakan fashion dari apa pun juga, hingga rela merogoh kocek yang dalam untuk merombak dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak ingin dibilang ketinggalan jaman, dan tidak lain untuk menjaga gengsi dan eksistensi semata. Walaupun apa yang mereka gunakan tersebut terlihat dipaksaan hingga bisa dibilang “mekso”, namun mereka tidak peduli tentang apa yang orang katakan, yang penting dia sudah mengikuti jaman. Jika jaman semakin gila, apa kita juga akan ikut - ikutan menjadi semakin gila? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi patut di pikirkan.
Hingga muncul juga istilah “kekinian” untuk mutan - mutan semacam itu. Mutan - mutan semacam inilah yang tidak semestimya ada, karena justru yang terkena imbasnya adalah genre musik yang memulai fashion tersebut sekaligus yang telah menginspirasi para mutan tersebut. Sebut saja Oliver Sykes dengan Bring Me The Horizonnya yang banyak dibilang orang hanya menjual fashion tanpa mampu bermusikalitas. Mungkin kalau pantas It’s Ok, namun banyak yang memaksakan tadi, walau mereka merasa tidak nyaman tetap terabas terus, “dressed to kill” pun terjadi di sini. Mereka seakan tidak sadar bahwa fashion yang mereka gunakan dengan memaksa tadi secara perlahan - lahan akan membunuh mereka, yang dibunuh tentu saja karakter, bukan yang lainnya. Parahnya, mereka tidak menyadari akan hal ini. Saya juga agak tercengang ketika saya banyak mendengar teman - teman atau orang yang rela cari duit sana-sini hanya untuk membeli sepatu pujaan atau untuk me”smoothing” rambutnya agar bisa dibilang kekinian dan agar pede aja ketika jalan atau datang ke gigs. Wow….sungguh ironis memang mendengar yang semacam itu, tapi dalam kenyataannya memang ada hal semacam itu, bahkan bukan hanya kasus itu saja, namun masih banyak kasus yang lainnya lagi.
Sehingga para kaum oportunis banyak bermunculan disini, mereka adalah pasar yang merasa bahwa fenomena semacam ini dapat mereka jadikan tambang emas bagi mereka. dengan tujuan keuntungan, mereka berhasil meracuni anak muda. Mungkin karena mereka tahu bahwa anak muda sekarang cenderung fashion minded, sehingga mereka mudah mempengaruhi mereka. Masa remaja memang masa yang labil, masa dimana mereka mulai mencari jati diri dan eksistensi diri, namun dalam mencari hal tersebut kita tidak sepatutnya menjadi skpetis seperti itu.
Lihat saja sekarang, sepatu dengan symbol “centang” yang banyak dipakai anak muda, hingga banyak pula yang mengedarkan sepatu-sepatu tersebut dengan harga yang beragam dan dengan beralaskan barangnya original, tapi mana ada yang tahu? Disinilah pasar sangat diuntungkan. Selain sepatu, juga masih banyak barang lain yang dikejar para mutan tersebut, contohnya salon. Ya….salon-salon laris dikerubuti mutan - mutan yang ingin me”smoothing” rambutnya, maksudnya sih biar bisa dibilang metal, namun malah jadi “gondrong ndeso.” Kalu yang berhasil ujung –ujungnya hanya menjadi “cowok cantik” atau “metal salon” saja. Esensi metal pun jadi hilang di sini, sekali lagi bukti bahwa mutan tersebut telah membunuh genre metal yang seharusnya jauh dari fashioncore.
Fenomena “dressed to kill” memang sudah mewabah dimana - mana sehingga sulit untuk diberantas, bahkan mungkin kita juga sudah terkena wabahnya. Namun sepatutnya kita menyadari diri sendiri, melihat kekurangan yang ada karena justru kekurangan tersebut bisa saja menjadi keunggulan dalam diri kita. Jika kita sudah bisa melihat kekurangan itu, maka kita akan lebih bisa memikirkan lagi apa kita bisa terus - terusan mengikuti fashion yang ada, selain itu kita juga bisa menyadari mana yang cocok dan mana yang tidak buat kita. Jika kita sudah bisa melihiat mana yang cocok, bukannya di cocok – cocokin, maka kita dapat menghindari wabah “dressed to kill”. Mungkin usia lah yang paling manjur untuk mengakhiri wabah ini, karena semakin tua kita tidak akan teru - terusan mengikuti jaman yang ada. Tapi, apa kita juga akan menunggu sampai tua dengan melihat fenomena semacam ini? So, pandanglah roots genre musiknya, jangan pandang fashionnya, dengan hal itu, kita akan lebih disegani dibanding hanya dengan mengikuti fashionnya saja. (YHN)