Jumat, 02 Oktober 2009

Wabah “Dressed to Kill”

Mungkin kita masih ingat waktu genre emo sedang booming dimana - mana dulu, semua seperti berseragam dalam berbusana, dengan rambut “ramires”, skinny jeans, kaos milik adik masing - masing dengan desain – desain yang lucu bahkan kaos berwarna pink laris – manis waktu itu dan tidak ketinggalan adalah sepatu Vans slip-on. Namun anehnya, mereka banyak yang tidak tahu apa itu emo, darimana roots itu terbentuk atau whatever lah. Mungkin itu salah satu contoh diantara banyak kasus yang ada selama ini, dan mungkin karena kasus itu yang paling booming ketika itu. Namun fenomena semacam ini tidak hanya berhenti sampai disitu, masih terus ada hingga saat ini, dan mungkin akan terus ada. Hal semacam ini disertai juga dengan pergantian genre musik yang juga terus berganti.
Entah apa kata yang tepat untuk digunakan dalam membicarakan fenomena yang terjadi pada anak muda sekarang ini, khususnya di sini dalam hal berbusana, bukan dalam hal yang lain. Walau kita juga tidak bisa memungkiri bahwa fashion sangat identik dengan genre musik, padahal musik itu luas sekali, tidak hanya sekedar fashion semata. Mungkin kita juga sudah familiar dengan istilah Fashioncore. Ya….istilah ini digunakkan untuk para anak muda yang “mendadak metal” atau “mendadak dangdut” sekalipun. “Mendadak” disini berarti bahwa mereka hanya menggunakkan fashion untuk musik tertentu dan dalam waktu tertentu saja, namun mereka tidak tahu apa - apa mengenai genre musik tersebut, bisa dibilang sebagai gaya - gayaan semata, untuk jaga gengsi juga tentunya. Samapai saya pernah mendengar ada suatu komunitas bernama “I hate who wears a shirt’s band without they know the band.” Memang panjang, tapi arti nama komunitas tersebut sangat menarik dan berarti.
Fashioncore sendiri sering digunakan sebagai bahan ejekan untuk orang - orang yang serba mendadak tadi. Namun para penikmat fashioncore tersebut merasa tenang - tenang saja dengan ejekan seperti itu bahkan justru menikmati ejekan tersebut, atau banyak juga yang merasa bangga jika dibilang posser. Entah apa yang sudah meracuni otak anak muda semacam itu. Konsumerisme telah merajai mereka.
Memang konsumerisme sudah tidak jauh berada dari kehidupan youth culture kita sekarang ini. Budaya yang seharusnya sangat dikawatirkan untuk menjadikan youth culture kita semakin menjadi kaum hedonis semata, sangat memprihatinkan bukan kehedonisan melanda youth culture? Mungkin dengan argumen untuk mengikuti jaman melalui fashion adalah argumen yang paling tepat, karena seperti kita ketahui berkembangnya fashion saat ini yang semakin gila. Maksudnya adalah membuat pikiran anak muda dan kantong kita gila, ya….sangat mahal tentunya untuk mengikuti fashion yang ada. Lihat saja pada suatu gigs sekarang, bukan crowd yang menarik yang ditunjukkan justru fashion show yang terjadi di sana, siapa lagi pelakunya jika bukan para posser-posser itu. Banyak yang mendadak metal, mendadak hardcore, dan sebagainya, hingga konsistensi diri dipertanyakan.
Para posser seperti mendewakan fashion dari apa pun juga, hingga rela merogoh kocek yang dalam untuk merombak dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak ingin dibilang ketinggalan jaman, dan tidak lain untuk menjaga gengsi dan eksistensi semata. Walaupun apa yang mereka gunakan tersebut terlihat dipaksaan hingga bisa dibilang “mekso”, namun mereka tidak peduli tentang apa yang orang katakan, yang penting dia sudah mengikuti jaman. Jika jaman semakin gila, apa kita juga akan ikut - ikutan menjadi semakin gila? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi patut di pikirkan.
Hingga muncul juga istilah “kekinian” untuk mutan - mutan semacam itu. Mutan - mutan semacam inilah yang tidak semestimya ada, karena justru yang terkena imbasnya adalah genre musik yang memulai fashion tersebut sekaligus yang telah menginspirasi para mutan tersebut. Sebut saja Oliver Sykes dengan Bring Me The Horizonnya yang banyak dibilang orang hanya menjual fashion tanpa mampu bermusikalitas. Mungkin kalau pantas It’s Ok, namun banyak yang memaksakan tadi, walau mereka merasa tidak nyaman tetap terabas terus, “dressed to kill” pun terjadi di sini. Mereka seakan tidak sadar bahwa fashion yang mereka gunakan dengan memaksa tadi secara perlahan - lahan akan membunuh mereka, yang dibunuh tentu saja karakter, bukan yang lainnya. Parahnya, mereka tidak menyadari akan hal ini. Saya juga agak tercengang ketika saya banyak mendengar teman - teman atau orang yang rela cari duit sana-sini hanya untuk membeli sepatu pujaan atau untuk me”smoothing” rambutnya agar bisa dibilang kekinian dan agar pede aja ketika jalan atau datang ke gigs. Wow….sungguh ironis memang mendengar yang semacam itu, tapi dalam kenyataannya memang ada hal semacam itu, bahkan bukan hanya kasus itu saja, namun masih banyak kasus yang lainnya lagi.
Sehingga para kaum oportunis banyak bermunculan disini, mereka adalah pasar yang merasa bahwa fenomena semacam ini dapat mereka jadikan tambang emas bagi mereka. dengan tujuan keuntungan, mereka berhasil meracuni anak muda. Mungkin karena mereka tahu bahwa anak muda sekarang cenderung fashion minded, sehingga mereka mudah mempengaruhi mereka. Masa remaja memang masa yang labil, masa dimana mereka mulai mencari jati diri dan eksistensi diri, namun dalam mencari hal tersebut kita tidak sepatutnya menjadi skpetis seperti itu.
Lihat saja sekarang, sepatu dengan symbol “centang” yang banyak dipakai anak muda, hingga banyak pula yang mengedarkan sepatu-sepatu tersebut dengan harga yang beragam dan dengan beralaskan barangnya original, tapi mana ada yang tahu? Disinilah pasar sangat diuntungkan. Selain sepatu, juga masih banyak barang lain yang dikejar para mutan tersebut, contohnya salon. Ya….salon-salon laris dikerubuti mutan - mutan yang ingin me”smoothing” rambutnya, maksudnya sih biar bisa dibilang metal, namun malah jadi “gondrong ndeso.” Kalu yang berhasil ujung –ujungnya hanya menjadi “cowok cantik” atau “metal salon” saja. Esensi metal pun jadi hilang di sini, sekali lagi bukti bahwa mutan tersebut telah membunuh genre metal yang seharusnya jauh dari fashioncore.
Fenomena “dressed to kill” memang sudah mewabah dimana - mana sehingga sulit untuk diberantas, bahkan mungkin kita juga sudah terkena wabahnya. Namun sepatutnya kita menyadari diri sendiri, melihat kekurangan yang ada karena justru kekurangan tersebut bisa saja menjadi keunggulan dalam diri kita. Jika kita sudah bisa melihat kekurangan itu, maka kita akan lebih bisa memikirkan lagi apa kita bisa terus - terusan mengikuti fashion yang ada, selain itu kita juga bisa menyadari mana yang cocok dan mana yang tidak buat kita. Jika kita sudah bisa melihiat mana yang cocok, bukannya di cocok – cocokin, maka kita dapat menghindari wabah “dressed to kill”. Mungkin usia lah yang paling manjur untuk mengakhiri wabah ini, karena semakin tua kita tidak akan teru - terusan mengikuti jaman yang ada. Tapi, apa kita juga akan menunggu sampai tua dengan melihat fenomena semacam ini? So, pandanglah roots genre musiknya, jangan pandang fashionnya, dengan hal itu, kita akan lebih disegani dibanding hanya dengan mengikuti fashionnya saja. (YHN)

2 komentar: